MAKALAH
PANCASILA
(PANCASILA dalam
KAJIAN SEJARAH BANGSA)
Disusun oleh:
1.
Danang Kurniawan (361541311069)
2.
Erlin Ayungtiyas (361541311045)
3.
Siti Nur Imamah (361541311050)
4.
Dyah Uswatun Hasanah (361541311052)
5.
Anita
Eka Safitri (361541311055)
6.
Ivan
Anggi (361541311054)
PROGRAM STUDI
D-IV AGRIBISNIS
POLITEKNIK
NEGERI BANYUWANGI
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Soekarno pernah
mengatakan “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Dari perkataan tersebut
dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi yang beragam bagi kehidupan.
Seperti diungkap seorang filsuf Yunani yang bernama Cicero (106-43 SM) yang
mengungkapkan “Historia Vitae Magistra”, yang bermakna, “sejarah
memberikan kearifan”. Pengertian yang lebih umum yaitu “sejarah merupakan guru
kehidupan”. Sejarah memperlihatkan
dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika
mereka tidak memilikinya atau jika konsepsi dan citacita itu menjadi kabur dan
usang, maka bangsa itu adalah dalam bahaya (Soekarno, 1989: 64).
Cita-cita ideal
sebagai landasan moralitas bagi kebesaran bangsa diperkuat oleh
cendekiawan-politisi Amerika Serikat, John Gardner, “No nation can achieve
greatness unless it believes in something, and unless that something has moral
dimensions to sustain a great civilization” (tidak ada bangsa yang dapat
mencapai kebesaran kecuali jika bangsa itu mempercayai sesuatu, dan sesuatu
yang dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban
besar) (Madjid dalam Latif, 2011: 42).
1.2
Rumusan Masalah
1.
Apa saja nilai-nilai pancasila dalam sejarah
perjuangan bangsa?
2.
Bagaimana sejarah pancasila menurut para tokoh
bangsa?
1.3
Tujuan Praktikum
1.
Mahasiswa
dapat mengetahui apa saja nilai-nilai yang terkandung dalam sejarah
perjuangan bangsa.
2. Mahasiswa
dapat mengetahui sejarah pancasila yang di kemukakan oleh para tokoh bangsa.
1.4
Manfaat
Mahasiswa dapat memahami arti pancasila dalam sejarah bangsa
sehingga dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, serta mengerti
pentingnya pancasila dalam kajian sejarah bangsa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada
awal kelahirannya, menurut Onghokham dan Andi Achdian, Pancasila tidak lebih
sebagai kontrak sosial. Hal tersebut ditunjukkan oleh sengitnya perdebatan dan
negosiasi di tubuh BPUPKI dan PPKI ketika menyepakati dasar negara yang kelak
digunakan Indonesia merdeka (Ali, 2009: 17). Inilah perjalanan The Founding
Fathers yang begitu teliti mempertimbangkan berbagai kemungkinan dan
keadaan agar dapat melahirkan dasar negara yang dapat diterima semua lapisan
masyarakat Indonesia.
Dr.
Radjiman Wediodiningrat, selaku Ketua Badan dan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPKI), pada tanggal 29 Mei 1945, meminta kepada sidang untuk
mengemukakan dasar (negara) Indonesia merdeka, permintaan itu menimbulkan
rangsangan memutar kembali ingatan para pendiri bangsa ke belakang, hal ini
mendorong mereka untuk menggali kekayaan kerohanian, kepribadian dan wawasan
kebangsaan yang terpendam lumpur sejarah (Latif, 2011: 4).
Kuat
dan mengakarnya Pancasila dalam jiwa bangsa menjadikan Pancasila terus berjaya
sepanjang masa. karena ideologi Pancasila tidak hanya sekedar “confirm and
deepen” identitas Bangsa Indonesia sepanjang masa. Sejak Pancasila digali
dan dilahirkan kembali menjadi Dasar dan Ideologi Negara, maka ia membangunkan
dan membangkitkan 2 identitas yang “tertidur” dan yang “terbius” selama
kolonialisme” (Abdulgani, 1979: 22).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Menurut
sejarah pada abad VII-XII, bangsa Indonesia telah mendirikan kerajaan
Sriwijaya di Sumatera Selatan dan kemudian pada abad XIII-XVI didirikan pula
kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Kedua zaman itu merupakan tonggak sejarah bangsa Indonesia karena
bangsa Indonesia masa itu telah memenuhi syarat-syarat sebagai suatu bangsa
yang mempunyai negara. Kedua kerajaan
itu merupakan negara-negara berdaulat,
bersatu serta mempunyai wilayah yang meliputi seluruh Nusantara ini, kedua zaman kerajaan itu telah mengalami
kehidupan masyarakat yang sejahtera.
Pada abad ke VII berdirilah kerajaan Sriwijaya dibawah kekuasaan wangsa Syailendra di Sumatera.
Kerajaan yang berbahasa Melayu Kuno dan huruf
pallawa adalah kerajaan maritime yang mengandalkan
jalur perhubungan laut. Kekuasaan Sriwijaya menguasai selat Sunda (686),
kemudian Selat Malaka (775). Sistem perdagangan telah diatur dengan baik,
dimana pemerintah melalui pegawai raja membentuk suatu badan yang dapat
mengumpulkan hasil kerajinan rakyat sehingga rakyat mengalami kemudahan dalam
pemasarannya. Dalam sistem pemerintahan sudah terdapat pegawai pengurus pajak,
harta benda kerajaan, rohaniawan yang menjadi pengawas teknis pembangunan
gedung-gedung dan patung-patung suci sehingga saat itu kerajaan dapat
menjalankan sistem negaranya dengan nilai-nilai Ketuhanan (Kaelan,2000:27)
Sebelum kerajaan Majapahit berdiri telah
muncul kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur secara silih berganti,
yaitu Kerajaan Kalingga (abad ke
VII), Sanjaya (abad ke VIII),
sebagai refleksi puncak budaya dari kerajaan tersebut adalah dibangunnya candi
Borobudur (candi agama Budha pada abad ke IX) dan candi Prambanan (candi agama
Hindu pada abad ke X).
Di Jawa Timur muncul pula
kerajaan-kerajaan, yaitu Isana (abad
ke IX), Dharmawangsa (abad ke X), Airlangga (abad ke XI). Agama yang
diakui kerajaan adalah agama Budha, agama Wisnu dan agama Syiwa telah hidup
berdampingan secara damai. Nilai-nilai kemanusiaan telah tercermin dalam
kerajaan ini, terbukti menurut prasasti Kelagen bahwa Raja Airlangga telah
mengadakan hubungan dagang dan bekerja sama dengan Benggala, Chola dan Champa.
Sebagai nilai-nilai sila keempat telah terwujud yaitu dengan dianggatnya
Airlangga sebagai raja melalui musyawarah antara pengikut Airlangga dengan
rakyat dan kaum Brahmana. Sedangkan nilai-nilai keadilan sosial terwujud pada
saat raja Airlangga memerintahkan untuk membuat tanggul dan waduk demi
kesejahteraan pertanian rakyat.
Pada abad ke XIII berdiri kerajaan Singasari di Kediri Jawa Timur yang ada
hubungannya dengan berdirinya kerajaan Majapahit (1293) Zaman Keemasan
Majapahit pada pemerintahan raja Hayam
Wuruk dengan maha patih Gajah Mada. Wilayah kekuasaan Majapahit semasa jayanya
membentang dari semananjung Melayu sampai
ke Irian Jaya.
Pengamalan
sila Ketuhanan Yang Maha Esa telah
terbukti pada waktu agama Hindu dan Budha hidup
berdampingan secara damai, Empu Prapanca menulis Negarakertagama (1365)
yang di dalamnya telah terdapat istilah “Pancasila”. Empu Tantular mengarang
buku Sutasoma dimana dalam buku itu tedapat seloka persatuan nasional yang
berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana
Dharma Mangrua”, artinya walaupun berbeda-beda, namun satu jua dan tidak
ada agama yang memiliki tujuan yang berbeda. Hal ini menunjukkan realitas
beragama saat itu. Seloka toleransi ini
juga diterima oleh kerajaan Pasai di Sumatera sebagai bagian kerajaan Majapihit
yang telah memeluk agama Islam.
Sila
kemanusiaan
telah terwujud, yaitu hubungan raja Hayam
Wuruk dengan baik dengan kerajaan Tiongkok, Ayoda, Champa dan Kamboja.
Menagadakan persahabatan dengan negara-negara tetangga atas dasar “ Mitreka
Satata”. Sila Persatuan Indonesia
telah terwujud dengan keutuhan kerajaan, khususnya Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Gajah Mada yang diucapkannya pada
sidang Ratu dan Menteri-menteri pada tahun 1331 yang berisi cita-cita
mempersatukan seluruh nusantara raya yang berbunyi : Saya baru akan berhenti berpuasa makan palapa, jika seluruh nusantara
bertakluk di bawah kekuasaan negara, jika gurun, Seram, Tanjung, Haru, Pahang,
Dempo, Bali, Sundda, Palembang dan Tumasik telah dikalahkan (Muh. Yamin.
1954: 60).
Sila
Kerakyatan
(keempat) sebagai nilai-nilai musyawarah dan mufakat yang dilakukan oleh sistim
pemerintahan kerajaan Majapahit Menurut prasasti Brumbung (1329) dalam tata
pemerintahan kerajaan Majapahit terdapat semacam penasehat kerajaan seperti Rakryan
I Hino, I Sirikan dan I Halu yang berarti memberikan nasehat kepada raja.
Kerukuan dan gotong royong dalam kehidupan masyarakat telah menumbuhkan adat
bermusyawarah untuk mufakat dalam memutuskan masalah bersama. Sedangkan
perwujudan sila keadilan sosial
adalah sebagai wujud dari berdirinya kerajaan beberapa abad yang tentunya
ditopang dengan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyatnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat kita
fahami bahwa zaman Sriwijaya dan Majapahit adalah sebagai tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai
cita-citanya.
Kedua zaman,
baik Sriwijaya maupun Majapahit dijadikan tonggak sejarah karena pada waktu itu
bangsa telah memenuhi syarat-syarat sebagai bangsa yang mempunyai negara. Baik
Sriwijaya maupun Majapahit waktu itu merupakan negara-negara yang berdaulat,
bersatu serta mempunyai wilayah yang meliputi seluruh Nusantara. Pada zaman
tersebut bangsa Indonesia telah mengalami kehidupan yang gemah ripah loh
jinawi, tata tentrem, kerta raharja (Darmodihardjo dkk, 1991: 21).
Pada tanggal 29
Mei 1945 Mr. Muhammad Yamin mengusulkan calon rumusan dasar Negara Indonesia
sebagai berikut:
1) Peri
Kebangsaan,
2) Peri
Kemanusiaan,
3) Peri Ketuhanan,
4) Peri Kerakyatan dan
5) Kesejahteraan
Rakyat.
Kemudian Prof.
Dr. Soepomo pada tanggal 30 Mei 1945
mengemukakan teori-teori Negara, yaitu:
1) Teori negara
perseorangan (individualis),
2) Paham negara
kelas dan
3) Paham negara
integralistik.
Selanjutnya oleh
Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 yang mengusulkan lima dasar negara yang
terdiri dari:
1) Nasionalisme
(kebangsaan Indonesia),
2) Internasionalisme (peri kemanusiaan),
3) Mufakat
(demokrasi),
4) Kesejahteraan
sosial, dan
5) Ketuhanan
Yang Maha Esa (Berkebudayaan) (Kaelan, 2000: 37-40).
Pidato pada tanggal 1 Juni 1945 tersebut, Ir Soekarno
mengatakan, “Maaf, beribu maaf! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam
pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka
Tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan
saya yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah, dalam bahasa
Belanda: “Philosofische grond-slag” daripada Indonesia Merdeka. Philosofische
grond-slag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam dalamnya, jiwa, hasrat,
yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia yang kekal
dan abadi”(Bahar, 1995: 63).
Demikian hebatnya Ir. Soekarno
dalam menjelaskan Pancasila dengan runtut, logis dan koheren, namun dengan
rendah hati Ir. Soekarno membantah apabila disebut sebagai pencipta Pancasila.
Beliau mengatakan, “Kenapa diucapkan terima kasih kepada saya,kenapa saya
diagung-agungkan, padahal toh sudah sering saya katakan, bahwa saya bukan
pencipta Pancasila. Saya sekedar penggali Pancasila daripada bumi tanah air
Indonesia ini, yang kemudian lima mutiara yang saya gali itu, saya persembahkan
kembali kepada bangsa Indonesia. Malah pernah saya katakan, bahwa sebenarnya
hasil, atau lebih tegas penggalian daripada Pancasila ini saudara-saudara,
adalah pemberian Tuhan kepada saya… Sebagaimana tiap-tiap manusia, jikalau ia
benar-benar memohon kepada Allah Subhanahu Wataala, diberi ilham oleh Allah
Subhanahu Wataala” (Soekarno dalam Latif, 2011: 21).
Selain ucapan yang disampaikan
Ir. Soekarno di atas, Pancasila pun merupakan khasanah budaya Indonesia, karena
nilai-nilai tersebut hidup dalam sejarah Indonesia yang terdapat dalam beberapa
kerajaan yang ada di Indonesia, seperti berikut:
1.
Pada kerajaan Kutai, masyarakat Kutai
merupakan pembuka zaman sejarah Indonesia untuk pertama kali, karena telah
menampilkan nilai sosial politik, dan Ketuhanan dalam bentuk kerajaan, kenduri
dan sedekah kepada para Brahmana (Kaelan, 2000: 29).
2.
Perkembangan
kerajaan Sriwijaya oleh Mr. Muhammad Yamin disebut sebagai Negara Indonesia
Pertama dengan dasar kedatuan, itu dapat ditemukan nilai-nilai Pancasila
material yang paling berkaitan satu sama lain, seperti nilai persatuan yang
tidak terpisahkan dengan nilai ke-Tuhanan yang tampak pada raja sebagai pusat
kekuasaan dengan kekuatan religius berusaha mempertahankan kewibawaannya
terhadap para datu. Nilai-nilai kemasyarakatan dan ekonomi yang terjalin satu
sama lain dengan nilai internasionalisme dalam bentuk hubungan dagang yang
terentang dari pedalaman sampai ke negeri-negeri seberang lautan pelabuhan
kerajaan dan Selat Malaka yang diamankan oleh para nomad laut yang menjadi
bagian dari birokrasi pemerintahan Sriwijaya (Suwarno, 1993: 20-21).
3.
Pada masa kerajaan Majapahit, di bawah raja
Prabhu Hayam Wuruk dan Apatih Mangkubumi, Gajah Mada telah berhasil
mengintegrasikan nusantara. Faktor factor yang dimanfaatkan untuk menciptakan
wawasan nusantara itu adalah: kekuatan religio magis yang berpusat pada Sang
Prabhu, ikatan sosial kekeluargaan terutama antara kerajaan-kerajaan daerah di
Jawa dengan Sang Prabhu dalam lembaga Pahom Narandra.
Jadi dapatlah dikatakan bahwa nilai-nilai
religious sosial dan politik yang merupakan materi Pancasila sudah muncul sejak
memasuki zaman sejarah (Suwarno, 1993: 23-24). Bahkan, pada masa kerajaan ini,
istilah Pancasila dikenali yang terdapat dalam buku Nagarakertagama karangan
Prapanca dan buku Sutasoma karangan Empu Tantular. Dalam buku tersebut istilah
Pancasila di samping mempunyai arti “berbatu sendi yang lima” (dalam bahasa
Sansekerta), juga mempunyai arti “pelaksanaan kesusilaan yang lima” (Pancasila
Krama), yaitu:
1.
Tidak
boleh melakukan kekerasan
2.
Tidak
boleh mencuri
3.
Tidak
boleh berjiwa dengki
4.
Tidak
boleh berbohong
5.
Tidak
boleh mabuk minuman keras (Darmodihardjo, 1978: 6).
Berdasarkan
uraian diatas dapat kita fahami bahwa
zaman Sriwijaya dan Majapahit adalah sebagai
tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-citanya.
Sebagai
perwujudan nilai-n
Di
Jawa Timur muncul pula kerajaan-kerajaan, yaitu Isana (abad ke IX), Dharmawangsa
(abad ke X), Airlangga (abad ke XI).
Agama yang diakui kerajaan adalah agama Budha, agama Wisnu dan agama Syiwa
telah hi
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Tanah
di lahan belakang Politeknik
Negeri Banyuwangi ternyata memiliki
kandungan unsur hara dengan pH 6. Berdasarkan uji pH tanah, kami dapat
mengetahui bahwa tanah di belakang Politeknik Negeri Banyuwangi bersifat asam
(tidak subur).
5.2 Saran
Agar tanaman bisa tumbuh baik, maka harus mengetahui terlebih dahulu kondisi
tanahnya dengan melakukan pengujian pada tanah. Karena hasil pengujian tanah
sangat berguna untuk pertanian yang mana akan memberikan informasi yang lengkap
mengenai kondisi lahan.
DAFTAR PUSTAKA
Soekarno,
1989, Pancasila dan Perdamaian Dunia, CV Haji Masagung, Jakarta.
Latif, Yudi,
2011, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila,
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Ali, As’ad Said,
2009, Negara Pancasila Jalan KemaslahatanBerbangsa, Pustaka LP3ES,
Jakarta.
Latif, Yudi,
2011, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila,
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Abdulgani,
Roeslan, 1979, Pengembangan Pancasila di Indonesia, Yayasan Idayu,
Jakarta.
Kaelan, 2000, Pendidikan
Pancasila, Paradigma, Yogyakarta.
Yamin, Muhammad,
1954, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Djambatan,
Jakarta/Amsterdam.
Darmodihardjo, D
dkk., 1991, Santiaji Pancasila Edisi Revisi, Usaha Nasional, Surabaya.
Kaelan, 2000, Pendidikan
Pancasila, Paradigma, Yogyakarta.
Bahar,
Safroedin, 1995, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia.
Latif, Yudi,
2011, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila,
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Kaelan, 2000, Pendidikan
Pancasila, Paradigma, Yogyakarta.
Suwarno, 1993, Pancasila
Budaya Bangsa Indonesia, Kanisius, Yogyakarta.
Suwarno, 1993, Pancasila
Budaya Bangsa Indonesia, Kanisius, Yogyakarta.
Darmodihardjo,
D, 1978, Orientasi Singkat Pancasila, PT. Gita Karya, Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar